Sambit – Kalau menurut Pernyataan Sujito, Juru Kunci Petilasan Suru Kubeng, Kutu Wetan Jetis Ponorogo, Ki Gedhe Ketut Surya Alam atau yang kemudian disebut dengan Ki Ageng Kutu adalah seorang Punggawa Majapahit yang melarikan diri ke Wengker karena kecewa. Kekecewaan tersebut diakibatkan karena Prabu Brawijaya V yang memerintah Majapahit dianggapnya kurang tepat. Hal itu karena dipengaruhi oleh istri muda dari Champa.
“Istri muda dari Champa itu beragama Islam,” ujar Jito.
Sehingga dalam pelariannya Ketut Surya Alam berdiam diri di Suru Kubeng, yang kemudian pada perkembangannya Suru Kubeng menjadi sebuah pedukuhan, Kademangan Kutu. Pandangan dari Jito itu merupakan pandangan yang lazim berkembang di masyarakat Ponorogo.
Karena tidak setuju dengan pemerintahan Majapahit, Surya Alam tidak lagi datang menghadap kepada Prabu Brawijaya, kemudian Prabu Brawijaya mengutus putranya Raden Katong atau Bathara Katong untuk melihat keberadaan Surya Alam di Suru Kubeng yang masuk wilayah bekas Kerajaan Wengker. Kemudian menjadi permusuhan antara keduanya.
Meski diplomasi dengan cara halus, termasuk putri Surya Alam yang bernama Niken Gandini dinikahi oleh Bathara Katong, tidak membuahkan hasil.
Perkelahian itu terjadi beberapa waktu yang kemudian berakibat Ki Ageng Surya Alam memilih bertenang diri di Gunung Bacin atau Belik Bacin di Desa Bancangan Kec. Sambit.
Menurut Sunyoto, salah satu masyarakat sekitar, dulu ada beliknya atau sendang.
Karena saat datangnya pasukan Ponorogo, untuk memburu keberadaan Surya Alam, dirinya hilang di tempat tersebut. Hilangnya Surya Alam ditandai dengan bau tidak sedap yang muncul dari belik itu, kemudian disebut belik Bacin (Buku Babad Ponorogo ; Purwa Wijaya).
Tempat hilangnya atau moksa Ki Ageng Kutu tersebut pada tahun 2000 di masa Bupati Markum Singo Dimejo dibangun dengan baik. Sehingga memudahkan para peziarah datang kelokasi tersebut.
Masih menurut Sunyoto, para peziarah dengan berbagai hajat datang untuk berdoa di pamoksan Ki Ageng Kutu, pada malam Jum’at Legi atau Jumat Kliwon. Peziarah tersebut, selain dari dalam Kota Ponorogo, tidak sedikit yang dari luar kota.
Tempat moksa atau hilang jiwa raganya menuju Tuhan (dalam ajaran agama Hindu) itu ditandai dengan cungkup. Karena beliknya tertelan jaman.
Dalam cungkup yang berukuran tidak lebih dari 25 M persegi itu, ada sebongkah batu yang digunakan oleh para peziarah, untuk membakar kedupa atau kemenyan sebagai pengharum sebelum mereka berdo’a. (Kominfo/Jgo)