PEMANGKASAN ratusan pohon ayoman di sekitar Ponorogo Kota terus dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) selama Desember 2020 ini. Hal ini untuk mengantisipasi berbagai musibah yang mungkin timbul akibat terpaan angin dan hujan pada pohon-pohon yang menjadi peneduh dan paru-paru kota tersebut.
Kepala DLH Kabupaten Ponorogo Sapto Djatmiko. Senin (28/12/2020) mengatakan, musim penghujan memang identik dengan banjir dan banyak pohon tumbang. Karenanya, pihaknya melakukan pemangkasan pohon-pohon yang ada. Namun, tidak semua pohon langsung dipangkas begitu saja.

“Sebab, pohon yang tumbang biasanya yang sudah berumur tua atau pohon yang tampak kuat ternyata dalamnya sudah keropos. Maka itu yang kita pangkas atau potong. Yang mengkhawatirkan, sewaktu-waktu dapat roboh ya kita pangkas atau potong,” ungkapnya.
Di wilayah Ponorogo Kota sediri terdapat sedikitnya enam ribu batang pohon ayoman yang berada di di tepi jalan. Selain sebagai peneduh, pohon-pohon ini juga berfungsi sebagai paru-paru kota dan menyerap air. Namun keberadaan pohon ayoman yang rata-rata usianya sudah tua ini mengkawatirkan, sebab sewaktu-waktu dapat roboh.

Dikatakannya, setiap Desember tiba, laporan masyarakat dan masukan terkait pohon yang berpotensi roboh memang meningkat. Akan tetapi, tidak semua laporan dan masukan ditanggapi dengan pemotongan atau pemangkasan.
Pemeliharaan pohon besar yang bisa dilakukan adalah melakukan pemangkasan cabang atau ranting yang mengganggu. Pemotongan atau penebangan baru akan dilakukan jika roboh atau ada pengaduan masyarakat. Dari pengaduan ini pun Sapto mengaku sangat selektif. Tidak semua keinginan masyarakat dipenuhi, tapi dilakukan pemilahan sesuai prioritas. Terutama untuk pohon yang tumbang atau keropos, pasti akan ditebang. Masyarakat sendiri tidak berani menebang karena bisa dianggap melanggar aturan yakni Perbup Nomor 5/2010.
“Keberadaan pohon sangat penting tapi kita upayakan agar tidak mengganggu. Secara bertahap kami lakukan pemangkasan, tapi tidak harus selalu memotong. Sebab untuk menumbuhkan pohon yang sedemikian besar tentu butuh waktu puluhan tahun,” terang Sapto. (kominfo/dist)