SUARA merdu tentang reog datang dari kampus hijau. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo juga ikut nguri-uri warisan budaya lokal itu lewat kegiatan ekstra bernama Persatuan Seni Reog Mahasiswa (PSRM). Reog yang semula terkena stigma negatif karena tradisi gemblak dan lekat dengan minuman keras akhirnya menjalani proses Islamisasi.
‘’Tidak ada alasan lagi bagi kampus untuk menolak reog,’’ kata Aksin Wijaya, Wakil Rektor III IAIN Ponorogo, Jumat (15/4/2022).
Aksin yang dikenal sebagai budayawan dan penulis produktif itu menilai, jarang-jarang ada kesenian tradisional yang mampu menembus lingkup perguruan tinggi. Tidak juga ketoprak, wayang orang, wayang kulit, atau ludruk. Bahkan, nama salah satu kampus negeri di Malang sudah identik dengan reog.
‘’Saya akan dorong PSRM eksis menampilkan pertunjukan reog di setiap event kampus,’’ terang profesor doktor itu.

Terpisah, Dadang Wahyu Saputra, dosen mata kuliah seni budaya dan keterampilan di IAIN Ponorogo, mengungkapkan bahwa anggapan reog sebagai kesenian sekuler mulai terkikis. Bahkan, reog efektif menjadi media dakwah. Tradisi dan budaya di Ponorogo begitu kuat dan kompleks. Di sisi lain, niilai keagamaan juga berkembang pesat karena banyaknya pondok pesantren.
‘’Antara tradisi, budaya, dan nilai keagamaan yang mencapai titik luluh akan memunculkan kosmopolitanisme,’’ ungkapnya.
Dia mengangankan, reog bukan sekadar pertunjukan namun sudah mampu membentuk logika berpikir masyarakat. Benturan antara budaya dan agama perlu diminimalisasi bahkan dihilangkan.
‘’Bagaimana masyarakat memproduksi pengetahuan melalui reog. Menempatkan reog sebagai entitas (keberadaannya unik serta berbeda) dan menjadi objek kajian serius di kampus sehingga terus berkembang,’’ papar Dadang. (kominfo/magang/hw)