TUJUH bulan sudah Hajah (Hj) Suyatun berpulang untuk selamanya. Dari rahim perempuan itu terlahir Bupati Ponorogo ke-27 bernama Sugiri Sancoko. Kepergian Mamak –sapaan sayang anak, cucu, dan cicit kepada Hj Suyatun—meninggalkan duka yang mendalam. Momentum Hari Kartini (21/4/2021) membangkitkan kenangan indah Kang Bupati bersama ibundanya yang sudah berjuang mengantarkan dua putra dan lima putrinya meraih kesuksesan.
PEREMPUAN sepuh itu yang paling dicari-cari Sugiri Sancoko ketika kali pertama masuk Pringgitan (rumah dinas bupati Ponorogo) setelah dilantik 26 Februari 2021. Kang Bupati bergegas sungkem ke Hj Suyatun. Suasana haru biru sontak tercipta. Mamak selama hidupnya selalu mengajarkan anak-anaknya bekerja keras, rukun dengan saudara, dan banyak bersedekah.
‘’Sosok ibu yang hebat, mengajari anak-anaknya hidup mandiri,’’ kata Eli Widodo, si anak bungsu.
Lahir dari keluarga cukup berada tak lantas membuat Mamak menjadi pribadi yang lemah. Sebaliknya, perempuan yang menikah dengan Toheran, seorang tentara, membesarkan anak-anaknya dengan kesederhanaan. Mamak sempat diboyong suaminya ke Tanjung Enim, Sumatera Selatan, di masa perang kemerdekaan. Di tanah rantau itu lahir empat anak.
‘’Bapak bergabung di perusahaan kereta api, sedangkan mamak berjualan kecambah di pasar,’’ kenang Eli.
Mamak yang terpaut usia 12 tahun dari suaminya itu pulang ke kampung halaman pada 1965. Orang tuanya yang sudah sepuh di Ponorogo butuh perawatan. Menyusul lahir anak kelima, keenam, dan ketujuh dari rahim Mamak. Keluarga besar itu hidup rukun dengan kearifan lokal di Desa Gelang Kulon, Sampung.
‘’Yang paling saya ingat dari Mamak adalah kami pantang bermalas-malasan. Bangun tidur langsung pegang sapu atau membantu pekerjaan lainnya,’’ ungkap Eli.
Sedangkan Ririn Nursiati, anak nomor dua, selalu terngiang nasihat Mamak yang meminta ketujuh anak-anaknya selalu rukun. Bahkan, Ririn dengan fasih menirukan petuah ibunya dalam bahasa Jawa. ‘’Ojo congkrah karo sedulur (jangan bertengkar dengan saudara).’’ Berembuk bareng menjadi kunci kerukunan tujuh saudara sekandung itu.
‘’Kami sekeluarga sering-sering berbicara dari hati ke hati, biar tidak terjadi salah paham,’’ terang kakak perempuan Kang Bupati itu.
Bertempat tinggal di desa yang pendidikan belum menjadi prioritas, tidak membuat Mamak melupakan kebutuhan sekolah bagi ketujuh anaknya. Bahkan, perempuan yang lahir tahun 1931 itu mensyaratkan putra-putrnya harus kuliah. Mamak berperan sebagai seorang ibu yang penuh kasih sayang, pejuang keluarga, istri ideal, dan pedagang tangguh di zamannya.
‘’Ibu empat sampai lima kali seminggu berjualan di pasar, membantu suami bekerja di sawah,’’ ujar Ririn yang mengenal ibunya seorang religius karena tidak pernah melewatkan Salat Subuh berjamaah dan Salat Jumat.
Menebarkan Kasih dan Sayang
Mamak terbiasa hidup prihatin hingga suka tirakat. Tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Tidak pula terlupa salat malam. Tak urung, para anak, cucu, dan cicitnya amat patuh. Eli Widodo kembali mengenang sifat kasih sayang ibunya yang menonjol. Mamak adalah penyayang tanaman dan hewan piaraan. Semua ayamnya sengaja diberi nama. Sepulang dari pasar kerap membeli ikan asin untuk makan kucing-kucing liar.
‘’Kalau ada uang lebih, Mamak sibuk membagi-bagikannya,’’ ujar Eli.
Suka berdema itu bertambah kala Mamak sudah berusia senja. Baginya, buat apa orang yang sudah tua memiliki uang terlalu banyak. Sesuap nasi saja sudah mengenyangkan perut. Eli benar-benar angkat topi tinggi-tinggi untuk ibundanya itu. Mamak menjelma menjadi idola keluarga besar. Kasih sayangnya tidak pernah dirasa berat sebelah. Semua anak, menantu, cucu, cucu menantu, hingga cicit, tak ada yang luput dari perhatian. Ucapan Mamak ibarat titah seorang ratu.
Tinggalkan Harum Bunga
Senin Wage, 20 Septeber 2021, kabar duka itu tersiar luas. Hj Suyatun berpulang untuk selamanya hingga meninggalkan duka mendalam bagi keluarga besarnya, Sebelum wafat, alamarhumah sempat opname selama sepekan di RSUD dr Harjono Ponorogo. Kang Bupati selalu berada di samping ibundanya yang sedang kritis. Hj Suyatun meninggal dunia pada usia 84 tahun ketika hari menjelang subuh.
Kang Bupati tak kehilangan momentum mengusung keranda, ikut memasuki liang lahad, dan berdoa takzim sebelum menabur bunga ke pusara ibunya. Kenangan indah itu kembali terulang di momentum Hari Kartini yang kental dengan perjuangan Perempuan Hebat. Hj Suyatun menghadap Yang Maha Kuasa dengan meninggalkan jejak kuat kepada tujuh anak, 23 cucu, dan 13 cicitnya. (kominfo/dyah/hw)
Credit foto: instagram @sugirisancoko26