TIGA skema menjawab problem kelangkaan pupuk. Yakni, pola kemitraan, hybrid founding system (pembiayaan campuran), dan dukungan penuh APBD. Bupati Sugiri Sancoko berhitung bahwa pupuk bersubsidi senyatanya hanya mampu menopang 42 persen dari kebutuhan bercocok tanam pada sekitar 10 ribu hektare lahan sawah di Ponorogo. ‘’Jawaban yang tepat atas persoalan pupuk adalah pertanian berkelanjutan,’’ kata kata Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan Ponorogo Masun, Selasa (22/11/2022).
Terjadi salah kaprah dalam revolusi pertanian di Indonesia ketika ingin mencapai ketahanan pangan dengan pemanfaatan pupuk kimia (anorganik) untuk menggenjot produksi padi. Akibatnya, unsur organik hilang sehingga tanah sawah menjadi kering. ‘’Mari kembali ke alam dengan mengembalikan nutrisi ke tanah. Penggunaan pupuk kimia secara berlebihan yang mengandung gas terbukti sudah merusak kelestarian lingkungan,’’ terangnya.
Masun mengungkapkan bahwa Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko mengajak para petani mengembalikan jerami (damen) dan tebon (sisa batang tanaman jagung) ke sawah. Mayoritas petani selama ini membakar limbah panen padi dan jagung itu. Pemkab Ponorogo sejatinya sudah menggandeng tenaga ahli dari Universitas Brawijaya untuk mendorong petani memproduksi sendiri pupuk organik. ‘’Pola kemitraan dengan investor juga memakai syarat penggunaan pupuk yang tepat guna,’’ ungkap Masun.
Pabrikan asal Kalimantan Timur lebih dulu melakukan penelitian unsur hara pada tanah sebelum memproduksi pupuk yang tepat. Kang Bupati –sapaan Bupati Sugiri Sancoko– berani menjamin pupuk kemitraan itu tidak dijual bebas di pasaran. Bersamaan itu, bantuan pupuk yang bersumber dari APBD hanya diperuntukkan kepada komunitas petani tertentu. ‘’Konsep kembali ke alam dan pertanian berkelanjutan akan menjawab persoalaan kelangkaan pupuk kimia dan turunannya,’’ tegasnya. (kominfo/fad/hw)