BERLARI di NusantaRun adalah pengalaman tersendiri bagi para pesertanya. Berlari ultra-marathon adalah sebuah pencapaian dan pengayaan jiwa dan ragawi. Juga berekspresi sekaligus menggalang dana untuk mendukung pendidikan. Semua melalui berlari.
Inilah yang dirasakan hampir seluruh pelari yang terlibat dalam NusantaRun Chapter 7 Gunungkidul—Ponorogo yang dilaksanakan pada Jumat (6/12/2019) hingga Minggu (8/12/2019). Bagi mereka berlari menguji banyak hal dari diri mereka dari kegemarannya berolah raga lari.
Seperti diakui Willliam Lesmana, 38, finisher, sebutan untuk pelari yang mampu mencapai garis finish, tercepat dalam NusantaRun kali ini. Menurutnya, berlari adalah caranya menguji ketahanan diri. Sebab ia pernah mencatatkan diri sebagai pelari finisher kedua pada ajang ultra-marathon 24 jam di Malaysia dua tahun lalu. Saat itu mencatat sebagai pelari dengan catatan jarak tempuh 181,8 kilomete pada lari keliling track di sebuah stadion.
“Tapi yang kali ini beda. Kita berlari tidak hanya untuk menguji ketahanan tubuh kita. Tapi kita juga melakukan _charity_ (kegiatan amal). Kita berdonasi, menggalang dana,” kata William, Sabtu (7/12/2019) sesaat setelah finish dari _fullcourse running_ 133 kilometer.


Hampir senada, bagi Natasya Ulfa Nanda, 23, pelari asal Jakarta yang baru pertama kali mengikuti NusantaRun ini. Medan yang langsung naik turun memang jauh lebih menantang dibanding ajang lari maraton plus plus yang pernah diikutinya selama ini. Belum lagi cuaca yang bergantian antara panas terik dan hujan yang bergantian membuat banyak pelari ciut nyali.
“Saya sempat pasrah apakah bisa mencapai _checkpoint-checkpoint_ sesuai jadwal. Dan syukurlah, di salah satu rute, waktunya diperpanjang akhirnya saya bisa jadi _finisher_. Ini berkah bagi saya,” ujarnya saat mengikuti pemulihan tubuh di Pendopo Agung Ponorogo.
Tak salah kiranya kalau ia sampai bersujud syukur beberapa menit begitu sampai di finish line di halaman Pendopo Agung Ponorogo. Tangisnya pun tampak pecah saat ia melepas sujud di karpet merah garis akhir ‘pelariannya’.
Sedikit berbeda, bagi Adita Irawati, pelari NusantaRun yang mantan staf khusus Presiden RI Joko Widodo. Bagi wanita paruh baya ini, NusantaRun C7 adalah yang paling menantang dari lima kali NusantaRun yang diikutinya. Tanjakan terjal sejak start dan hujan deras hingga tiga kali di malam hari adalah tantangan tersendiri baginya.
“Lebih berat memang. Tapi puas bisa jadi finisher,” tuturnya.
Sebab, lanjutnya, berlari di NusantaRun bukan hanya penyaluran kegemarannya berolah raga lari. Lebih dari itu, berlari dengan jarak yang sangat jauh seperti NusantaRun adalah pengayaan pengalaman pribadi yang luar biasa baginya.

“_Charity run_ (lari sambil menggalang dana) itu lari yang tidak biasa. Lari jarak jauh membuat kita lebih sehat itu pasti. Lari juga membuat kita bisa lebih _positif thinking_ (berpikir positif). Dan dengan berlari saya bisa benar-benar menikmati _me time_(waktu menyendiri) yang sangat berkualitas,” ulasnya.
“NusantaRun memungkikan saya untuk berkontemplasi, merenungkan banyak hal, banyak persoalan dan menghasilkan pikiran-pikiran yang positif tentang diri, lingkungan dan sebagainya,” pungkas wanita berjilbab ini. (kominfo/dist)