BUMI gonjang-ganjing (berguncang) dan langit kelap-kelap katon (berkilat) tetap mengawali pagelaran wayang kulit kendati yang naik pentas adalah dalang cilik. Suluk dalam pewayangan itu mengumandang di Pendopo Agung Kabupaten Ponorogo saat enam dalang yang terdiri pelajar SD, SMP, dan SMA tampil bergantian seharian, Rabu (10/8/2022).
Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Ponorogo Sindu Parwoto mengaku lega lantaran belum kehabisan stok dalang. Dengan begitu, kelestarian wayang kulit akan terjaga. Ponorogo selama ini dikenal gudangnya dalang cilik karena kerap tampil di sejumlah event tingkat provinsi dan nasional. ‘’’Kita jemput bola dengan mengirimkan dalang pelajar. Dalam pedalangan, seni karawitan pasti ikut serta,’’ jelasnya.
Menurut dia, regenerasi dalang wayang kulit di Ponorogo bakal berjalan dengan sendirinya. Keberadaan enam dalang junior itu sudah lebih dari cukup untuk menggantikan para seniornya. Apalagi, di setiap masa selalu muncul pelajar yang memiliki bakat menjadi dalang wayang kulit. ‘’Jangan khawatir kehabisan dalang,’’ ungkap Sindu Parwoto.
Pepadi juga mengadakan pagelaran wayang kulit bersamaan tirakatan Hari Jadi ke-526 Kabupaten Ponorogo, Rabu (10/8/2022) malam. Kali ini yang tampil adalah dalang kawakan dari Bantul. Sindu Parwoto mengatakan bahwa Pepadi ingin memancing kreativitas para dalang di Ponorogo. ‘’Mayoritas dalang di Ponorogo menganut gaya Surakarta. Sedangkan dalang dari Bantul bergaya Jogjakarta,’’ terangnya.
Dia berharap dalang di Ponorogo belajar gaya pedalangan Surakarta dan Jogjakarta atau mengolaborasikan keduanya. Ada sederet perbedaan pagelaran wayang gaya Surakarta dan Jogjakarta itu. Mulai layar tempat lampu blencong, busana dalang, gagrak wayang, hingga catur pedalangan atau cara berbahasa dalang dalam mendialogkan adegan tertentu. ‘’Cara memainkan wayang juga berbeda,’’ pungkasnya. (kominfo/win/hw)