RUANGAN lapang di Gedung Sentra Industri (GSI) Ponorogo lebih menjamin perajin batik tulis leluasa bekerja. Seorang perajin batik tulis membutuhkan ruang untuk menggantungkan kain mori ke gawangan, bersanding dengan kompor, wajan berisi malam, dan canting. Dian Fajar Riyono adalah perajin batik yang memilih beraktivitas rutin di GSI Ponorogo.
‘’Proses pembuatan desain yang memakan waktu cukup lama. Perlu dua minggu sampai sebulan, bergantung kerumitan serta banyaknya motif,’’ kata Nano –sapaan Dian Fajar Riyono—kepada PNG.go.id, Sabtu (4/2/2023). ‘’Ponorogo memiliki corak batik khas Ponoragan dengan motif reog dan corak burung merak,’’ imbuhnya.

Seorang perajin batik tulis harus nyungging (membuat pola di kertas) sebelum njaplak, memindahkannya ke atas kain. Masih ada tahap membuat batasan motif yang disebut nglowong. Selanjutnya, melakukan isen-isen dan ngeblok berupa menutup kain dengan malam. ‘’Butuh ketelatenan melewati tahapan-tahapan ini,’’ ungkap Nano.
Tak urung, batik tulis dengan panjang sekitar dua meter berharga Rp 300 ribu hingga Rp 1 juta. Nano menyebut ukuran harga batik tulis itu juga bergantung jumlah warna. Sebab,
proses pewarnaan tak kalah rumit. Setiap satu warna selesai, kain perlu ditutup ulang untuk pemberian warna yang lain. Setelah itu, ditus, dilorod, dibilas, lalu dijemur. ‘’Wajar kalau batik tulis berharga mahal,’’ terang Nano.

Batik Indonesia tercatat sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO pada 2009 silam. Bangga memakai batik akhirnya dirayakan setiap 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Ponorogo tak mau ketinggalan dengan kekhasan batik Ponoragan bercorak reog dan burung merak. (kominfo/fad/hw)