Persaingan Festival Reog Ponorogo Semakin Ketat, Kreativitas Peserta di Luar Ekspetasi

SELAMA hampir tiga dekade difestivalkan, pertunjukan Reog Ponorogo terus berkembang. Seniman reog tak henti dalam berkreativitas. Seperti ditunjukkan empat penampil pertama Festival Nasional Reog Ponorogo (FNRP) XXVIII, pada Jumat (14/7/2023) malam, yang membuat dewan juri tercengang.

Grup reog Watoe Dhakon dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo, misalnya, menyelipkan syair Syubbanul Wathon yang merupakan karya KH Abdul Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama.

‘’Persaingan antar peserta semakin ketat dari sisi garap tari, musik, tata busana, maupun koreografinya. Benar-benar di luar ekspetasi kita,’’ kata Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Ponorogo Judha Slamet Sarwo Edi.

EKSOTIS : Penampilan salah satu peserta Festival Nasional Reog Ponorogo (FNRP) XXVIII pada hari pertama di panggung utama alun-alun, Jumat (14/7/2023).

Menurut dia, FNRP bertujuan mempertahankan kesenian asli Ponorogo sehingga tidak ada pembatasan kreativitas seniman. Dalam festival reog tidak mengenal pakem meskipun terdapat acuan yang tertuang dalam Buku Panduan Dasar Pertunjukan Reog Ponorogo. Judha menilai beragam kreasi yang ditampilkan di FNRP masih dalam koridor wirogo, wiroso, dan wiromo Ponoragan.

‘’Kita tidak boleh terjebak dalam pakem. Substansi pakem itu apa, kita perlu duduk bersama,’’ jelasnya.

Judha juga sempat membahas penampilan grup reog dari IAIN Ponorogo yang menyelipkan lirik bernuansa Islami. Itu membuktikan bahwa reog berkembang dalam wilayah manapun dan siapapun berhak berkreativitas asalkan tidak menambahkan instrumen lainnya.

‘’Penampilan grup dari IAIN bisa dikatakan reog santri. Sah-sah saja karena mereka tumbuh di ekosistem santri sehingga terjadi kolaborasi saat iring-iring (penutupan) ada syair bernuansa Islami,” terangnya.

Tatkala Reog Ponorogo terinskripsi sebagai warisan budaya tak benda (WBTb) di United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), maka akan terjadi perkembangan pesat. Seniman dari berbagai belahan dunia bakal mengkreasi reog dengan tidak meninggalkan seni tradisinya.

‘’Ketika sudah terdaftar di UNESCO, tidak perlu lagi terjadi perdebatan kalau ada yang memberi sentuhan inovasi terhadap reog,’’ ungkap Judha.

Masih kata dia, hanya ada batasan tipis antara kreativitas dan originalitas. Terjadi akulturasi saat reog dimainkan di Belanda, Amerika, atau daerah lainnya di Indonesia.

‘’Tentu di sana ada perpaduan dua budaya pada tempat reog itu berkembang. Tidak membatasi seniman dalam berkreativitas tetapi harus berpedoman pada Buku Panduan Dasar Pertunjukan Reog Ponorogo,’’ pungkasnya. (kominfo/win/hw)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked*